Sorga dan Amarah

“Barangsiapa tidak marah, maka ia
lemah dari melatih diri. Yang baik adalah, mereka yang marah namun bisa
menahan dirinya.” [Imam al-Ghazali, dari kitab Ihya’ Ulumuddin]


“Brengs** ! Dikira aku ini
apaan.” Kalimat-kalimat kotor dan celaan sering kita dengar di
sekeliling lingkungan kita. Entah karena spontan atau karena sudah
kebiasaan. Tidak cukup sampai di situ, kadangkala, semburan
kalimat-kalimat tidak pantas masih dibarengi dengan tindakan lain
sebagai ekpresi amarah. “Brak!. Lihat saja nanti!, “ ujarnya sembari
membanting pintu.


Contoh
di atas adalah ekpresi dari rasa amarah seseorang. Amarah adalah sikap
alamiah yang dimiliki manusia. Ekpresi amarah, bentuknya bisa
bermacam-macam. Mulai yang ringan hingga yang berat.


Amarah
sering terjadi pada tingkatan-tingkatan tertentu. Umumnya, sebagai
ekspresi kekecewaan, kebencian atau bentuk dari sikap kaum kuat pada
yang lemah. Misalnya; atasan pada bawahan. Tua pada yang muda, suami
pada istrinya, kakak terhadap adiknya, begitu seterusnya. Pada
level-level seperti, ekpresi amarah relative lebih cepat terjadi.


Meski
salah, amarah sering juga dianggap sebagai bentuk dari sikap menjaga
wibawa, gengsi atau harga diri. Meski dari ketiga itu adalah sama-sama
dari bentuk kesombongan yang hinggap pada diri seseorang. “Sori, jika
aku mengalah, itu membuktikan aku lemah. Aku harus melawannya, “ begitu
kalimat yang sering meluncur pada hati orang-orang yang diliputi
perasaan gengsi. Yang lebih parah, ketika menganggap amarah sebagai
bentuk keberanian.


Sering
kita lihat di sekeliling kita, bagaimana ketika dua orang yang sedang
bertengkar justru semakin ganas dan semakin tidak terkontrol dikala
sebagian orang justru sedang menengahi alias memisahkannya. “Jangan
pegangi, lepas saja ane,” begitu ucapnya ketika sedang dilerai. Di
hadapan banyak orang, ia seolah ingin menunjukkan ‘kekuatannya’ pada
pihak lawan. Intinya, antara gensi, sombong dan amarah, bedanya
ibarat sehelai rambut.


Karena
itu, Islam lebih memuliakan orang-orang yang bisa mengendalikan diri
dari rasa amarah di dadanya. Bahkan bagi yang mampu mengendalikan rasa
amarah, Allah sendiri yang langsung menjanjikan kemuliaan padanya.


Rasulullah
bersabda, “Man kaffa ghadhabahu kaffa Ilaahu’anhu adzaabahu wa
mani’tadza ilaa rabbihii qabilallahu wa man hazana lisaanuhu
satrallahu’auratahu.” [“Barangsiapa mampu mencegah kemarahannya, maka
dicegah oleh Allah daripadanya akan azabNya. Dan barangsiapa yang
meminta udzur kepada Tuhannya, maka Allah menerima udzurnya. Dan
barangsiapa menjaga lidahnya [menahannya], niscaya Allah akan menutup
auratnya]


Ibnu
Umar berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya neraka jahanam
itu mempunyai satu pintu, yang tidak dapat dimasukinya, selain orang
yang sembuh kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada Allah ta’ala.”
[HR. Ibnu Abi Dunya dari Ibnu Abbas]


Selain
itu, Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa mampu menahan
kemarahannya dan ia sanggup melaksanakannya, maka ia dipanggil oleh
Allah di hadapan manusia ramai dan ia disuruh memilih, diantara
bidadari yang dia kehendaki.” [HR. Ibnu Abi Dunya dari Mu’adz bin Anas]


Begitu
pentingnya amalan menahan amarah, sampai-sampai Allah tidak segan-segan
memberi ganjaran luar biasa baginya. Menurut Rasulullah, “Laa tahdzab
wa lakal jannah.” (Janganlah marah bagimu surga).[HR. Bukhari]

0 komentar:

Posting Komentar